Tuli tidak bisa kuliah???
Sebuah status yang bersumber dari media sosial yang diangkat oleh Surya Sahetapy. Komentarnya justru memancing banyak respon dari berbagai pihak ada yang dari Tuli dan non-Tuli. Menarik untuk dikupas disini.
Kemunculan ini bermula dari adanya status darinya tentang kebijakan dari pemerintah yang sudah terbit yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) no. 157 tahun 2014 pasal 9 ayat 2 yang berbunyi:
“Muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tuna rungu kelas I SDLB/MILB sampai dengan kelas XII SMALB/MALB atau SMKLB/MAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan kelas VI SD/MI ditambah program kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian”.
Berdasarkan analisa penafsiran dari ayat peraturan tersebut diatas bahwa kurikulum pendidikan untuk Tuli dibuat lebih rendah dengan kurikulum non-Tuli. Atau secara sederhananya pelajaran untuk kelas 1 SDLB isinya sama dengan pelajaran PAUD untuk umum. Dan pelajaran kelas XII SMALB sama dengan pelajaran kelas VI SD umum. Idiih .. kok bisa begitu sih…
Kebijakan diatas justru memancing protes dari kalangan Tuli dan diperdebatkan di media sosial. Mereka mendukung komentar dari Surya untuk bisa mengubah kebijakan yang lebih adil. bahkan dishare dan dicopas kebijakan ke akun media sosial lainnya seperti instagram.
Ada komentar yang menggelitik dari seorang yang dulunya pernah berprofesi jadi jurubahasa isyarat dengan komentar begini “Suatu saat dalam sebuah pembukaan seminar , seorang pejabat yang bekerja untuk pendidikan luar biasa menyampaikan pidato ( presentasi ) yang menyatakan bahwa anak anak “tunarungu” itu tidak perlu kuliah, tidak usah berpendidikan tinggi tinggi, yang penting sejak sekolah dibekali ketrampilan untuk bekerja”. Komentar ini justru menarik penasaran komunitas Tuli untuk mencari tahu siapa itu yang bilang? Sayang sekali belum ada bukti data yang kuat untuk merekam atau memfoto pernyataan pejabat tersebut.
Semenjak ini banyak status-status bermunculan menyatakan Tuli sebenarnya sudah bisa kuliah, disertai dengan memperkenalkan diri mereka pernah kuliah di universitas ini dan itu di media sosial juga, sebagai pembuktian ke masyarakat. Bahkan ada yang sudah menyelesaikan S2 dan sedang menempuh pendidikan S3 baik di dalam dan di luar negeri. Menurut sumbernya sudah terdata sekitar 200 Tuli sudah menempuh perguruan tinggi. Masih kurang apalagi?
Yang paling membingungkan menurut kami adalah Permendikbud 157 terbit tahun 2014 setelah ada ratifikasi CRPD di Indonesia muncul tahun 2011. Ini berarti pemerintah masih acuh dengan kebijakan menghormati hak penyandang disabilitas yang tertuang dalam CRPD sebelumnya.
Nada-nada sumpah serapah dari mulut maya bermunculan dari Tuli maupun non-Tuli menyatakan kekecawaan yang tidak bisa ditebak apa isi hatinya. Disambung nada-nada dari orang tua Tuli justru mendapat penyegaran dan memberi semangat kepada komunitas Tuli dan anaknya sendiri untuk terus mendorong ke pemerintah untuk bisa memperbaiki keadaan pendidikan yang masih belum beres ini. Satu-satunya harapan dari komunitas Tuli tentang ini adalah adanya perubahan peraturan atau amandemen.
Tuli Tidak Diam!!