Belajar Bisindo Kepada Nick Palfreyman, Peneliti dari University of Lancashire
Solider.or.id, Surakarta– Siang itu sekira pukul satu siang, saya datang ke Hotel Red Planet Solo. Beberapa hari sebelumnya, Ismail, manajer media di Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)telah memberitahukan bahwa pada 19-21 Oktober, Nick Palfreyman memberi pelatihan kepada Tuli tentang bahasa isyarat Indonesia untuk meningkatkan kepercayaan diri melalui kesadaran bahasanya. Saya bersama dua puluh orang Tuli berada di dalam satu ruang. Fasilitator pelatihan adalah Nick Palfreyman, peneliti dari The School of Language and Global Studies, University of Lancashire (UCLan). Ini perjumpaan pertama saya dengannya.
Tidak semuanya saya kenal, hanya tiga orang Tuli : Muhammad Isnaeni, Aprilian Bima dan Stephanus Indra Kusuma. Kepada ketiga teman tadi saya berkomunikasi dengan bahasa isyarat sebisa saya. Baru saya sadar bahwa kemampuan bahasa isyarat saya masih sangatlah minim. Saya nyaris merasa putus asa karena tidak dapat berinteraksi dengan kawan-kawan Tuli lainnya sampai kemudian saya hubungi Ismail dan berkata kepada dia jika saya merasa diri saya sebagai seorang difabel di ruang pelatihan. “Ayo, berinteraksilah!” ujar Ismail dalam bahasa pesan menjawab keresahan saya.
Kebuntuan dalam berkomunikasi kemudian dijembatani dengan segera dimulainya sesi pelatihan lagi. Muhammad Isnaeni berbicara dalam bahasa isyarat kepada saya bahwa sesi nanti dimulai pukul 13.30 hingga 15.00. Dalam sebuah ruangan saya melihat beberapa kursi berjajar, ada sekira 20-an. Tetapi kursi ini kemudian disingkarkan berderet di pinggir. Pada tembok tertempel warna-warni kertas meta-plan dengan tulisan spidol yang rapi. Pada salah satu meta-plan tertulis angka 1. ‘Kenalkan’, lalu di bawahnya berderet kata-kata : nama, siapa, Tuli, dengar, siswa, guru. Di meta-plan dengan angka 2 tertulis ‘Pohon Keluarga’ lalu di bawahnya tertempel tulisan anggota keluarga, status, kawin. Di angka 3 tertulis ‘berapa umur’ disusul dibawahnya ; nomor, umur, pertama, kedua. Urutan tersebut ada hingga angka 20, setidaknya begitu menurut pengamatan saya.
Kelas telah dimulai, ke-20 Tuli duduk di karpet dan semua arah mata memandang pada layar. Di depan telah berdiri Nick Palfreyman bersama Muhammad Isnaeni. Pada monitor tertulis tiga kalimat, “Kenapa Kamu Datang?”, “Bolehkah Saya Duduk?”, “Kamu Mau Ke Mana?” Disusul kemudian kalimat-kalimat seperti ini ,”Kamu Datang Kenapa?”, “Duduk Boleh?”. “Kamu Ke Mana?”, “Durian Kamu Suka?”, “Duduk Boleh?”, “Mereka Mengobrol Sambil Tersenyum”, “Aku Tidak Bisa Berenang”, “Aku Datang Kemarin”, “Aku Sudah Membaca Koran.”
Sementara itu di dinding ruang yang nyaris satu bidangnya penuh dengan tempelan kertas meta-plan, saya menemukan sebuah tulisan “Resep Bisindo” 1. Tunjuk, 2. Ekspresi Wajah, 3. Pakai Ruang dan masih ada poin-pin lain. Temuan saya lagi adalah sebuah kalimat : Bahasa Indonesia “Saya tidak bisa berenang”, Bisindo “Saya renang tidak bisa.”
Sesi berikutnya setelah praktik menggunakan kalimat dalam bisindo adalah permainan berdasarkan bulan-bulan dalam kalender. Mereka membuat kelompok berdasarkan nama bulan yang sama. Setelah terbentuk kelompok, maka masing-masing melanjutkan permainan dengan menebak gambar dan melukiskannya kembali dalam kertas kosong. Jika penyampai bisindo benar dan bisa diterima, maka anggota kelompok menggambarkannya benar sesuai kertas yang sudah digambari, seperti kelompok Muhammad Isnaeni, yang benar menangkap pesan dalam bisindo dari temannya. Namun demikian, ada beberapa yang masih keliru dalam menangkap isyarat teman sehingga gambar tidak sama persis seperti yang dikehendaki.
Pukul 15.00, tiba-tiba Bias Hasby, penerjemah bisindo memasuki ruangan dan itu mengagetkan saya. Rupanya Stephanus Indra Kusuma telah menghubungi Bias agar datang ke hotel dan menjadi penerjemah bagi saya. Saya meminta waktu kepada Nick Palfreyman untuk kami melakukan wawancara. Berikut petikannya :
Saya : Perkenalkan nama saya Puji Astuti. Saya dari media online Solider. Saya mau tanya ini kegiatannya dalam rangka apa?
Nick Palfreyman : Ini kegiatannya untuk orang-orang Tuli Indonesia yang asli Solo, Bekasi, Sragen, dan Boyolali. Tujuan kegiatan ini adalah supaya mereka bisa menjadi guru isyarat indonesia untuk mengajarkan kepada orang ‘dengar’. Sebetulnya teman-teman tidak mungkin mengajar langsung jadi harus latihan dulu, selanjutnya tujuan kedua adalah selama tiga hari ini teman-teman, dilatih dan digembleng supaya membantu teman-teman Tuli di sini untuk menjadi seorang guru Bisindo. Nah bagaimana membuat kurikulum, bagaimana cara mengajar, bagaimana saya memberi contoh belajar melalui permainan-permainan, dan banyak sekali kegiatan lain. Bagaimana meningkatkan kepercayaan diri, bagaimana mereka supaya lebih berani lagi.
Saya : Tadi saya melihat teman-teman belajar tentang kosa kata dan menyatukannya menjadi sebuah kalimat,apakah itu hal yang baku? Kemudian saya melihat ada perbedaan antara struktur kalimat, kata di dalam bahasa indonesia dan bisindo, itu bagaimana?
Nick Palfreyman : Oh ya betul sekali, struktur bahasa Indonesia atau struktur bahasa Inggris berbeda sama dengan struktur bahasa Indonesia dan struktur bisindo karena itu dua bahasa yang berbeda. Ironis, biasanya teman-teman Tuli menggunakan bisindo, mereka ketemu teman-teman menggunakan bisindo, ya kan. Ah tapi ketika mereka dihadapkan dengan orang mendengar, mereka ironisnya hanya terus bahasa isyarat mereka mengikut ke dalam bahasa Indonesia. Padahal tidak seperti itu. Tugas saya adalah mengajar orang-orang Tuli ketika mereka mengajar orang mendengar, tidak mengikut bahasa mereka/bahasa indonesia padahal seharusnya tidak begitu. Tidak dengan struktur Indonesia tetapi memakai struktur bisindo. Jadi orang Tuli adalah minoritas dan orang dengar adalah mayoritas dan ketika dihadapkan, orang Tuli akan mengatakan ‘siapa sih saya?’ Bukan itu yang saya maksudkan. Harus dengan struktur bisindo. Mereka harus tetap mengajar dengan struktur bisindo.
Saya : Apakah itu bisa didukung pemerintah? Dalam hal ini dinas pendidikan, misalnya untuk advokasinya bagaimana.
Nick Palfreyman : Sebenarnya saya apakah fokus dengan pemerintah Indoensia? Tidak, saya hanya fokus hanya kepada orang Tuli saja. Kalau dinas pendidikan adalah kelompok gerkatin, organisasi Tuli. Mereka yang mengadvokasi ke pemerintah.
Saya : Tadi saya melihat istilahnya adalah “kelonggaran” (tidak hanya satu isyarat) ada perempuan menunggang kuda, ketika ada perempuan yang yang begini (saya memeragakan isyarat dengan tangan) dan begini…(memeragakan lagi dengan gerakan tangan yang lain), apakah ini dalam terjemahan bisindo yang dipakai yang mana?
Nick Palfreyman : Bahasa isyarat berbeda dengan bahasa lisan, kalau isyarat itu secara visual seringkali diisyaratkan seperti : saya membaca koran, tetapi kalau dalam bahasa isyarat: (sambil memeragakan) koran saya baca. Seperti saya baca, baca apa? Jadi dalam bahasa isyarat itu dibalik. Contohnya saya jadi perempuan ya, terus saya mengekspresikan gerakan isyarat itu bisa dipakai, tetapi tergantung dengan tujuan apa, apakah menunjukkan misal pengin menunjukkan ekspresi si perempuan itu yang menunjukkan atau gerakan si kuda, kamu bisa lari berapa. Bisa dengan cara itu untuk mengekspresikan.
Saya : Bagaimanakah respon dari teman-teman Tuli, bisa menerimakah semuanya?
Nick Palfreyman : Saya pikir teman-teman bisa menerimanya seperti itu. Saya tidak ingin membawa hal, maksudnya bahasa dari luar negeri ke mari. Saya ingin fokus pada bisindo yang ada di sini, saya seperti bercermin kepada mereka dan saya ingin menunjukkan cermin itu kepada mereka. Saya dari kecil sampai besar saya menggunakan BSL (British Sign Linguage), saya tahun 2007 baru belajar bisindo tentunya sangat berbeda sekali. Saya belajar. Apakah saya membawa bahasa isyarat dari luar negeri, tentu tidak. Bisindo dari mereka sendiri. Juga mereka harus tahu pentingnya bagaimana pentingnya mengajari, contohnya di Inggris seorang juru bahasa isyarat seperti Bias ini ada 1000 orang lebih dan mereka bekerja fulltime. Di sini di Indonesia, lima tahun yang lalu itu juru bahasa isyarat itu kan belum ada kan ya. Benar-benar kosong. Mungkin sekarang ada 20, 30 atau 50 orang, dan masih sangat sedikit di Solo, Jogja, Jakarta, itu aja yang lain-lainnya mungkin belum ada. Dan ini sangat penting bagaimana mereka membuat penerjemah. Bagaimana mereka mulainya dari kelas ini. Bagaimana mereka dengan keluarga mereka lebih dahulu. Bagaimana mereka ketemu dengan keluarga mereka dengan baik. Terus jadi pendidik di SLB, di kelas sendiri, siapa yang mengajar. Jadi mulainya dari Tuli sendiri baru ke keluarganya, baru masyarakat. Iya, itu memerlukan waktu yang lama. Orang ‘dengar’ yang mengkampanyekan pasti gagal, tetapi kalau orang Tuli sendiri, saya yakin bisa.
Saya : Bagaimana perbedaan bahasa isyarat di sini dan di Inggris, misalnya?
Nick Palfreyman : Sebenarnya ada banyak sekali, di Inggris ada di sini tidak ada padanan. Banyak sekali, bahasa sangat berlainan, ada kategori, negatif, superlatif, kalau di sini lebih banyak. Di Inggris perbendaharaan kata sedikit sekali tetapi di sini sampai sepuluh, sebelas macam. (Puji Astuti)
Sumber dari Solider.or.id