Komunitas Tuli Solo terima ABD dari Starkey Foundation
Minggu pagi yang cerah, pagi-pagi sekali komunitas Tuli sudah mengantri di Balaikota Surakarta padahal jadwal acara dimulai pukul 10. Di tempat itu digelar kegiatan penerimaan Alat Bantu Dengar dari Starkey Foundation dengan program “So Indonesia May Hear” sebagai kelanjutan dari sebelumnya melakukan pendaftaran dan pengetesan fisik. Ini merupakan hari pertama dari 3 hari berturut-turut Minggu-Senin-Selasa. [Minggu, 13 Nopember 2016].
Menurut humas sekitar 1426 peserta telah menerima alat bantu dengar dari 1500 yang telah mendaftar. Diantara mereka banyak komunitas Tuli sebelumnya ada telah bergabung dengan anggota Gerkatin Solo sejak berdiri sampai yang sekarang, ada dari luar kota seperti Purwokerto, Salatiga dan lain-lain mendatangkan diri untuk menerima alat bantu dengar tersebut. Sehingga sebagai ajang kangen-kangenan dari teman-teman yang telah lama tidak bertemu untuk berkumpul kembali. Selain ada komunitas anak-anak tuli juga ada karena faktor penuaan hadir disini.
Dalam kegiatan ini Starkey Foundation bekerja sama dengan Alat Bantu Dengar Indonesia (ABDI), Pemkot Surakarta, relawan dari PMI Solo, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Lions Club Solo, Bengawan, persatuan THT serta relawan difabel. Salah satunya Galih Saputro seorang fotografer Tuli dari Gerkatin Solo membantu memotret momen-momen ini.
Kota Solo merupakan salah satu dari beberapa daerah seperti Yogyakarta, Jakarta, Makassar dan lain-lain.Dari keseluruhan daerah Indonesia ditotal 7000 alat bantu dengar disebarkan.
Pemberian alat bantu dengar gratis tidak bisa dilakukan secara serta merta, namun memerlukan tahapan. Tahapan terpenting adalah pengetesan, dimana peserta dites kualitas pendengaran dengan alat tertentu seperti tympanometri, BOA, Audiometri, OAE, ABR, ASSR, BERA dan ada alat tes lainnya. Karena setiap orang tuli memiliki tingkat pendengaran yang berbeda-beda sehingga memerlukan spesifikasi alat bantu dengar yang berbeda-beda pula.
Setelah mereka mendapatkan alat bantu dengar, kedepan mereka akan dimonitoring perkembangannya dengan mendatangkan tim dari Starkey Foundation lagi.
Ada kawan sepasang suami istri dari Gerkatin Solo mendapatkan alat bantu dengar tersebut. Sang istri merasa pusing ketika memakainya, karena sejak kecil belum pernah memakainya, jadi hari itu yang pertama kali dipakai. Sempat dikonsultasikan oleh spesialis THT untuk biasakan memakainya. Pertama kali pakai memang pusing nanti lama-lama akan terbiasa juga dan untuk bisa mendengar jelas tentu membutuhkan usaha dari Tuli itu sendiri untuk belajar mengenal suara, terutama suara percakapan. Hal ini bisa dibantu dengan orang yang mendengar untuk pengetesan apakah percakapan yang didengar benar atau salah.
Apalagi anak-anak kemungkinan akan melepas alat bantu dengar karena terganggu, butuh proses dan butuh ketelatenan untuk melatihnya.
Untuk meminimalisir miskomunikasi ketika bisa mendengar pakai alat bantu dengar, belum tentu Tuli bisa memahami pendengaran dengan jelas. Karena faktor usia yang sudah terlanjur agak tua pertama kali dipakai, pengenalan persepsi bunyi membutuhkan proses yang lama. Tergantung kemampuan Tuli dalam memahami pendengarannya. Maka bahasa isyarat tetap diperlukan sebagai bagian utama dari budaya Tuli untuk membantu memperlancar komunikasi.
Selamat mendengar.