Polemik Bahasa Isyarat
Komunikasi dengan isyarat bagi difabel rungu masih menuai pro dan kontra. Tidak mudah menentukan metode pengajaran mana yang tepat untuk anak dengan gangguan pendengaran ini. Seperti sebuah polemik yang berkepanjangan untuk menentukan sistem pembelajaran yang tepat bagi mereka.
Kekurangan pada pendengaran sering berdampak pada kemampuan verbal pada anak dengan gangguan pendengaran atau tuli sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dan bahasa tubuh untuk berkomunikasi. Bahasa isyarat sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kebiasaan di mana anak tinggal atau berasal. Maka muncul berbagai bahasa isyarat yang mengadaptasi dari lingkungan anak, dan menjadi bahasa yang melekat pada diri seseorang dengan istilah lain bahasa ibu.
Sama halnya dengan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Batak, atau bahkan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain, bahasa isyarat juga merupakan bahasa ibu dengan fungsi yang sama pentingnya, yaitu sama-sama menjadi salah satu alat mengakses informasi. Bahasa isyarat adalah hak bagi tuli yang harus dijunjung tinggi. Namun demikian keberadaannya di negeri ini masih tersisih, tidak banyak yang mau mengapresiasi hak berbahasa isyarat ini.
Bahkan, guru-guru di sekolah luar biasa (SLB) pun sering kali mengajar anak-anak dengan gangguan pendengaran atau tuli seperti halnya memberi pelajaran bagi anak-anak mendengar. Bahasa isyarat tidak ditempatkan dalam kurikulum pendidikan tersendiri sebagai bidang studi, sebagaimana bidang studi lainnya yang mendapat porsi dalam jadwal pelajaran di kelas. Bahasa isyarat hanya dijadikan salah satu penunjang untuk memperlancar jalannya proses pengajaran di kelas.
Pada Rabu (22/01) dan Jumat (24/01) kontributor solider melakukan penelusuran di dua buah SLB di wilayah Bantul, yaitu SLB Negeri 1 dan SLB Negeri 2 yang memiliki jumlah siswa difabel rungu terbesar diantara difabel lainnya, untuk mengetahui sejauh mana penerapan bahasa isyarat di dua sekolah tersebut.
Pentingnya Bahasa isyarat
Kepala SLB Negeri 1 Bantul, Muhammad Basuni, Jumat (24/01) menegaskan pentingnya bahasa isyarat sebagai alat komunikasi efektif dengan tuli. “Bagi saya belajar bahasa isyarat sangat berguna, sebab memudahkan dalam memahami apa yang mereka maksudkan. Untuk itu saya mendukung dimasyarakatkannya bahasa isyarat, untuk memperlancar komunikasi di antara anak-anak tuli itu sendiri, demikian pula dengan orang mendengar.”
Dalam kegiatan pembelajaran, bahasa isyarat menjadi bahasa yang dominan di kelas-kelas difabel rungu. Namun demikian, juga menerapkan sistem komunikasi total (Komtal), yang dibantu salah satu metodenya, metode maternal reflection (MMR) untuk memudahkan siswa memahami kosa kata bahasa Indonesia yang beragam, tambahnya.
Pelatihan bahasa isyarat bagi seluruh guru, staf dan karyawan SLB N 1 Bantul telah diprogramkan setiap dua kali dalam seminggu, pada jam 13:00 WIB.
Harapannya, keberadaan bahasa isyarat mendapatkan tempat di dunia pendidikan maupun di bidang lainnya sehingga mereka, tidak semakin tersisihkan.
Namun tidak semua sekolah setuju dengan pengajaran bahasa isyarat, seperti halnya di SLB N 2 Bantul. Sekolah ini lebih menitik beratkan pada pembelajaran komunikasi total (Komtal) dengan salah satu metode MMR pula. Bahasa isyarat hanya menjadi salah satu bahasa yang memudahkan siswa memahami kata-kata baru. “Saya sedih melihat anak-anak yang berbicara tanpa suara, tetapi hanya menggunakan kode atau isyarat tangan,” Sri Suharyatri menyampaikan pada kontributor solider, Rabu (22/01).
Seperti yang sudah tercantum dalam kurikulum, bahwa tujuan dari belajar di SLB adalah anak mampu berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat. Porsi belajar isyarat tidak boleh melebihi dari porsi belajar komunikasi oral. Sri Andarini, kepala SLB N2 Bantul menambahkan.
Bahasa Isyarat Bagi Mereka, Difabel Rungu
Sedangkan Topan Agastya, siswa kelas XII SLSB N2 Bantul mengatakan, penting sekali diajarkannya bahasa isyarat. Sebab, ketika melihat televisi, sangat sulit memahami bahasa yang diucapkan oleh orang dalam acara TV tersebut, sebab mereka bicara terlalu cepat. Tapi sekarang di TV sudah ada penerjemah isyarat, jadi saya lebih mudah memahami maksudnya.
Sedangkan Khalid Nasrullah menceritakan, saya sekolah di sekolah di sekolah umum, yaitu SMSR kelas X. Saya sering kesulitan memahami apa yang disampaikan guru. Sangat sulit mencerna informasi yang disampaikan oleh guru di depan kelas. Dengan bantuan beberapa kawan yang baik hati biasanya saya baru faham sedikit-sedikit apa maksud penjelasan dari guru, ujarnya.
Dikutip dari sumber: Solider.or.id